Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Gagasan pluralisme hukum sebagai sebuah konsep, mulai marak pada dekade 1970an, bersamaaan dengan berseminya ilmu antropologi.
Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71).
Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di antaranya: (i) pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan; (ii) pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan. Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.
Gerakan Pluralisme Hukum di Indonesia
Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai untuk membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata, 2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada peluang melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat). Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan hukum negara.
Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan aturan mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria, yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini.
Di tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin masif dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya dengan melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan pendokumentasian hukum-hukum adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat utama untuk diakuinya keberadaan masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong pemerintah-pemerintah daerah mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa melalui melibatkan pengadilan.
Irelevansi Pluralisme Hukum bagi Indonesia Sekarang Ini
Gerakan perubahan hukum di Indonesia dengan menggunakan pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya adalah dengan diakuinya hak-hak masyarakat adat, termasuk hukumnya, dalam konstitusi.
Di tengah gencarnya berbagai gerakan untuk mendorong pluralisme hukum di Indonesia, serta perdebatan yang ada di dalamnya, muncul pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana pluralisme hukum tersebut relevan bagi Indonesia?
Masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat yang majemuk, tetapi bukan berarti bahwa pluralisme hukum merupakan jawaban atas adanya problem hukum di Indonesia. Apalagi di Indonesia remah-remah otoritarianisme dan feodalisme masih tersebar dan setiap saat bisa muncul kembali, dan ekonomi masih dikuasai oleh segelintir orang. Tidak heran kemudian dengan adanya pelaksanaan pilkada, yang berkuasa adalah borjuasi lokal dan penguasa-penguasa feodal.
Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.
Hal ini sebenarnya sudah terjadi ketika sejumlah peraturan daerah (perda) yang secara substantif meminggirkan kelompok-kelompok tertentu, berlaku di sejumlah daerah. Lihat saja Qanun di Aceh atau Perda Injil di Manokwari, begitu pula beberapa perda yang mewajibkan pelajar perempuan mengenakan jilbab. Dalam sudut pandang pluralisme hukum, hal semacam itu diakui sebagai implementasi dari pluralisme hukum. Sekali lagi terlihat di sini bahwa pluralisme hukum pada dasarnya tidak melihat apakah secara substantif hukum tersebut adil bagi semua orang.
Dengan demikian, pluralisme hukum bisa menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia. Dengan alasan pluralisme hukum, semua produk hukum dapat dipakai untuk menyuburkan nilai-nilai feodalisme, otoritarianisme, ketidakadilan ekonomi, dan bahkan dijadikan jalan bagi totalitarianisme. Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, seperti halnya Kanada dan Perancis. Namun kita belum memiliki konstitusi yang kuat untuk menopang kemajemukan. Feodalisme masih begitu kental dalam seluruh segi kehidupan masyarakat kita. Kita masih juga masih belum lepas dari bayang-bayang otoritarianisme yang masih menghantui kita, ditambah dengan ancaman munculnya kembali totalitarianisme semakin menguat akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pluralisme hukum, bagaimanapun juga, tidak relevan dengan kondisi sosial-politik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar