Senin, 12 Maret 2012

SISTEM PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT KALIMANTAN BARAT.

Dalam tugas ini saya sebagai penulis mengambil simpel kasus adat perkawinan
Dalam budaya Dayak Mali, adat selalu ditetapkan berdasarkan hukum adat yang berlaku. Adat sekaligus hukum adat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam adat perkawinan tersebut.

Hubungan keluarga mempelai. Kedua mempelai akan diberi sanksi apabila ada ikatan darah antara sampai keturunan ke-4. Boleh saja menikah asalkan membayar adat terlebih dahulu.

Adik-kakak/ abang)= Adat Pelangkah. Apabila adik terlebih dahulu menikah maka adik tersebut harus membayar adat kepada kakak/ abang.Hubungan antar suku (Tionghoa dan Melayu). Suku Dayak Mali telah membuat perjanjian dengan suku Melayu dan Tionghoa dari zaman nenek moyang. Apabila orang Dayak menikah dengan orang Melayu dan masuk Melayu (Islam) maka pihak Melayu harus membayar adat sebagai sanksi. Adatnya cukup besar dalam adat Dayak Mali. Demikian pula sebaliknya dan dengan suku Tionghoa juga terjadi hal yang sama. Tetapi dengan suku lain selain kedua suku tersebut tidak ada
sanksi/ hukum adat yang berlaku. Suku yang lainnya bebas dari hukum bila menikah dengan suku Dayak mali. Tetapi bukan berarti bebas dari hukum yang lain yang berlaku bagi seluruhnya.

Penetapan hukum Adat pada saat mulai Pelaksanaan Perkawinan. Pada saat persiapan pernikahan akan ada perjanjian antara kedua mempelai tersebut. Dan jika dilanggar maka sangsinya akan lebih berat dari biaya pernikahan.

Minggu, 11 Maret 2012

HUKUM ADAT

 1.  Pengertian Hukum Adat secara Umum
            Hukum adat mengatur tentang hukum perkawinan adat, hukum waris adat, dan hukum perjanjian adat. 
Istilah hukum waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan istilah hukum  waris Barat, hukum waris Islam, hukum waris Indonesia, hukum waris Batak, hukum waris Minangkabau dan
sebagainya. Walaupun seseorang/individu tersebut sudah  meninggalkan kampung halamannya atau berada di daerah perantauan, ia tidak lupa pada adat istiadat daerahnya. Misalnya, seseorang yang sudah berada di daerah perantauan masih memegang teguh adat istiadat dari daerah/sukunya masing-masing, yang sering dijumpai adalah pada hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dan warisan.
               Karena mengenai hal tersebut, pada masing-masing suku di Indonesia terdapat cara pengaturan yang khas dan ada suatu ciri yang menonjol dan adat istiadat masing-masing.
               Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Di dalam hukum waris adat tidak hanya semata-mata  menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu. 
               Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan cara harta warisan itu dialihkan.

1.  Bentuk kekerabatan Hukum Adat
               Masyarakat/bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. 
               Hukum Keluarga Adat adalah hukum adat yang bentuknya tidak tertulis dan di dalamnya terdapat pengaturan mengenai hubungan hukum/ kekerabatan yang terdapat di antara satu individu dengan individu lainnya, apakah hubungan ayah dan anak, ibu, dan anak, kakek dan cucu dan sebagainya.
               Kekerabatan merupakan hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai hubungan darah atau keturunan yang sama dalam satu keluarga. Kekerabatan suatu lembaga yang berdiri sendiri, lepas dari ruang lingkup yang disebut kekerabatan, suatu kesatuan  yang utuh, bulat diantara anak dan ayah, berlangsung terus menerus tanpa batas. Atau, dengan perkataan lain bahwa hubungan antara anak dan ayah bukan ditentukan oleh adat semata-mata, tidak pernah berakhir dan tidak dapat diakhiri oleh adat,
hubungan ini berlangsung tanpa batas-batas adat, dan memang bukan suatu hubungan dalam arti kekerabatan. Individu sebagai keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang
berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan.Hubungan kekeluargaan merupakan yang sangat penting dalam hal :
a.  Masalah perkawinan, untuk meyakinkan apakah ada hubungan
kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami istri
(misalnya terlalu dekat, adik kakak sekandung).
b.  Masalah waris, hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta
peninggalan.

Secara teoritis sistem kekeluargaan dapat dibagi dalam tiga corak, yaitu :
a.  Sistem Kekeluargaan Patrilineal
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, kedudukan pria lebih
menonjol pengaruhnya daripada kedudukan wanita di dalam pewarisan.
(Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
b.  Sistem Kekeluargaan Matrilineal
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, kedudukan wanita lebih
menonjol pengaruhnya daripada kedudukan pria di dalam pewarisan
(Minangkabau, Enggano, Timor).
c.  Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral
                  Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).
               Antara sistem keturunan yang satu dan yang lain dikarenakan hubungan perkawinan, dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti di antara, sistem patrilineal dan matrilineal . Dalam perkembangannya di
Indonesia sekarang tampak bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak-ibu (parental) dan berkurangnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut kebendaan dan pewarisan. Namun demikian, di kalangan masyarakat pedesaan masih banyak juga yang bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan adatnya yang lama. Hazairin menyatakan : "Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang  tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.Dengan catatan bahwa pemahaman terhadap bentuk-bentuk masyarakat adat kekerabatan itu tidak berarti bahwa sistem hukum waris adat untuk setiap bentuk kekerabatan yang sama akan berlaku sistem hukum waris adat yang sama. Masalahnya dikarenakan di dalam sistem keturunannya yang
sama masih terdapat perbedaan dalam hukum yang lainnya,

2.  Bentuk Sistem Perkawinan
                   Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya menyangkut perempuan dan pria yang akan menjadi suami istri saja tetapi juga menyangkut orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan kerabat lainnya.Perkawinan juga bukan hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup tetapi perkawinan itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta terbentuk rumah tangga yang sehat dan anak yang lahir dari keturunan yang sah.
                   Material.Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata. berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dan pihak istri dan pihak suami.
                    Hukum Perkawinan Adat adalah hukum Adat yang bentuknya tidak tertulis dan di dalamnya terdapat ketentuan mengenal tata tertib/aturan perkawinan. Tentang keabsahan perkawinan, hukum adat menggantungkannya pada sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat hukum tempat para calon
mempelai tinggal. Sebagaimana diketahui bahwa sistem penarikan garis keturunan menurut hukum adat di antaranya adalah dalam bentuk patrilineal, matrilineal, dan parental.

a.  Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal
                 Suatu masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak ayah (patrilineal) mengenal bentuk perkawinan eksogami. Misalnya, bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Batak Toba yang mengharuskan adanya perbedaan klan antara calon mempelai laki-laki dengan perempuan. Pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk ke dalam klannya. Dengan demikian, si perempuan memiliki hak dan kewajiban yang
sepadan dengan anggota-anggota keluarga laki-laki yang lain. Penarikan perempuan ke dalam klan si laki-laki ini harus disertai dengan pemberian jujur, berupa barang-barang yang memiliki nilai kepada keluarga pihak
perempuan. Hal ini dilakukan karena masyarakat Batak mempercayai bahwa pemberian jujur menggambarkan simbol sebagai pengganti kedudukan perempuan dalam suatu klan.

b.  Bentuk perkawinan pada masyarakat matrilineal
                 Masyarakat matrilineal mengenal pula bentuk perkawinan eksogami,    dengan beberapa perbedaan daripada masyarakat patrilineal. Misalnya, di Minangkabau yang berlaku tiga bentuk perkawinan, yaitu kawin
bertandang (semenda), kawin menetap dan kawin bebas. Dalam kawin bertandang, suami dan istri tidak hidup bersama, masing-masing tetap, berada dalam lingkungan klannya. Kedudukan suami semata-mata berstatus sebagai tamu, yang bertandang ke keluarga istrinya, tidak berhak atas anaknya, harta benda istri dan segala hal yang bersangkutan dengan rumah tangga.
                Harta kekayaan yang dihasilkan suami hanya untuk dirinya sendiri, ibunya, saudara-saudaranya dan anak-anaknya (harta. suarang).Perkembangan dari kawin bertandang adalah kawin menetap, suami dan istri hidup dalam satu rumah. Kebersamaan ini terjadi karena. rumah gadang dipandang tidak lagi mencukupi untuk ditempati sehingga mereka harus pindah dan membentuk keluarga sendiri, sumber mata pemahaman
dan pengurusan harta kekayaan secara mandiri yang selanjutnya akan diwariskan pada anak-anaknya dan menjadi harta. peninggalan generasi pertama (harta pusaka rendah). Bentuk kawin bebas adalah setiap orang
bebas dapat memilih sendiri pasangannya masing-masing tanpa harus terikat pada kondisi-kondisi khusus  bahwa hukum adat mengikat bagi kelompok mereka. Bentuk kawin bebas ini biasanya dilakukan oleh mereka, suami istri dari Minangkabau yang telah melakukan perpindahan tempat tinggalnya (migrasi).

c.  Bentuk perkawinan pada masyarakat parental
Dalam masyarakat parental bentuk perkawinan yang dilaksanakan adalah perkawinan bebas, setiap orang boleh kawin dengan siapa, saja sepanjang tidak dilarang oleh hukum adat setempat atau karena. alasan agama.
Artinya, syarat syahnya suatu perkawinan tidak ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan klan seseorang,

Rabu, 29 Februari 2012

Sistem Hukum Adat Ditengah Kuatnya Pengaruh Sistem Hukum Global

Dalam berbagai tulisan bisa ditemukan bagaimana pertarungan antara globalisasi hukum (sistem hukum global) berhadapan dengan sistem hukum nasional. Satu hal yang spesifik (khas Indonsia) adalah keberadaan sistem hukum adat diantara berbagai sistem hukum yang hidup dan berkembang di Indonesia. Sistem hukum adat boleh dikatakan sebagai sistem hukum asli Indonesia. Karenanya membicarakan eksistensi sistem hukum adat dalam kuatnya pengaruh sistem sistem hukum global terhadap sistem hukum nasional, menjadi sangat penting bagi Indonesia.  Bahkan seharusnya mendapat tempat khusus dalam pengembangan politik hukum nasional. 
Hukum adat di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan hukum di Indonesia. Apabila diajukan pertanyaan mana hukum asli Indonesia, maka hukum adat merupakan jawaban yang tidak dapat disangkal. Namun bagaimana eksistensi hukum adat dalam kehidupan hukum di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan dinamika kehidupan social, budaya dan politik di Indonesia.
Kehidupan hukum adat di Indonesia pernah termajinalkan dan disisi lain terdesak oleh hukum nasional, tidak terkecuali di era reformasi yang sedang bergulir saat ini di Indonesia.  Pengaruh yang demikian setidaknya dapat ditangkap dari apa yang dikemukakan Andrew McWilliam, yang mengemuakakan, bahwa  Customary laws and practice flourished under the shifting geo-politics of Indonesia’s dynastic history, but they remained for the most part ill-defined and diffused as coherent systems of bounded customary practice and authority over defined jurisdictions. It was the advent of European, and particularly Dutch, colonialism, that created the conditions for greater articulation and definition of custom or adat, as systems of local jural and cultural practice (see Weiner and Filer, this issue). Dutch colonialism in Indonesia set in train a gradualist but determined process of codification and control by the state over customarily held lands and coastal waters in the interests of both territorial integrity, and the pursuit of economic development and revenue. It is this legacy of the colonial project that continues to influence the contemporary pattern of relationships between the nation-state in Indonesia and its constituent customary or adat communities in their diverse cultural forms.” [1]
Banyak pandangan dan contoh yang bisa dikemukakan untuk memberikan gambaran terhadap eksistensi hukum adat di Indonesia. Namun yang pasti, jauh sebelum masuk hukum kolonial dan hukum nasional Indonesia, hukum adat telah terlebih dahulu eksis mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat Indonesia dan tentu dalam batas-batas yuridiksi masyarakat hukum adat tempat dimana hukum adat itu tumbuh dan berkembang.
Keterpurukan hukum adat dibawah kuatnya dominasi hukum kolonial dan hukum nasional, dan termasuk kuatnya pengaruh globalisasi hukum, tidaklah dalam artian “mati” melainkan yang berkembang adalah dualisme hukum dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengaruh hukum sipil kolonial belanda merasuk jauh kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kondisi itulah yang kemudian dipulihkan kembali setelah Indonesia merdeka yang ditandai dengan diakuinya keberadaan hukum adat dalam tatanan hukum agraria Indonesia. Sebagaimana dikemukakan   Andrew McWilliam, Among the challenges facing the independent Indonesian government was the desire to rid the state of its colonial regulatory framework, and particularly the pluralist and racially based legal system constructed under Dutch rule. One significant initiative in this respect was the promulgation of the Basic Agrarian Law (BAL) 1960, which represented an attempt to ‘harmonise’ the parallel systems of European and adat law originally created under the colonial Agrarian Act of 1870. It sought to uphold the principle that Indonesian adat should form the basis for a national land law (Article 5)9 while creating a single system of statutory rights (kepastian hukum), recognising one set of disposable and transferable rights in landed property. A series of property rights (hak) were subsequently created which ranged from nominal ‘freehold’ (hak milik) to more temporary use or lease rights (hak pakai, hak guna bangunan).[2]
Meskipun demikian, hak-hak atas tanah berdasarkan hukum adat diakui sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam perspektif ini, eksistensi hukum adat berkaitan dengan hak-hak atas tanah masih berada dibawah kekuatan hukum nasional. Pada sisi lain hukum nasional berkemungkinan menjadi penetrasi bagi hukum adat apabila berhadapan dengan kepentingan negara atau kepentingan pembangunan.
Bila dikaitkan dengan era sekarang ini, memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang sudah mulai tampil dengan kekuatan yang lebih besar dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan Pemerintah di bidang pengelolaan sumber daya alam, bahkan langkah ini sebenamya sudah terlalu jauh tidak hanya sekedar menyangkut goal-goal yang bersifat tehnis namun mudah menyinggung hal-hal yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehidupan hukum di Indonesia menunjukkan wajahnya yang berbeda dengan negara-negara lain. Perbedaan itu terutama berkaitan dengan pruralisme hukum di Indonesia dan memberikan warna dan karakteritis tersendiri dalam pembangunan hukumnya. Dalam konteks pruralisme hukum ini Cotterrel (1995) menegaskan : We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law[3](Cotterrell, 1995:306).
Apa yang dikemukakan Cotterrel itu dapat dipahami, bawah secara empiris dapat dijelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law). Dengan adanya berbagai hukum yang hidup dalam suatu masyarakat negara, maka scenario pembangunan hukum dan bagaimana membentuk suatu harmonisasi hukum jelas suatu masalah yang kompleks dan sangat berpengaruh pada efektifitas hukum. Kemungkinan yang terjadi, acapkali dominnasi hukum negara melakukan penetrasi terhadap hukum adat atau dilain pihak terjadi spaning penegakkan hukum dengan penerimaan masyarakat terhadap suatu hukum.
Apabila pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6), maka dapat dipastikan ada sejumlah kesulitan dan permasalahan yang akan dihadapi dalam pengembangan sistem hukum negara yang bersangkutan dan memerlukan pemecahan yang tepat dan mampu meminimalisasi kemungkinan tidak efektifnya hukum.
Pruralisme hukum pada banyak negara, tidak lepas dari kondisi tarik menarik dalam menentukan perberlakuan suatu hukum. Dalam lain perkataan pruralisme hukum acap kali dipertentangkan dengan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama (religious law), hukum kebiasaan (customary law), dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal (inner-order mechanism) yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan :
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.[4]
Meskipun tidak tampak secara terang-terangan adanya gerakkan dari ideology sentralisme hukum itu di Indonesia, tetapi dengan dominasi dari hukum negara di Indonesia, sebenarnya secara tidak lansung ideology sentralisme hukum itu hidup di Indonesia. Akan tetapi keadaan itu tidak selamanya harus dipahami sebagai sesuatu yang buruk, misalnya saja bagaimana kalau sistem hukum Islam yang diberlakukan diseluruh territorial Indonesia, sementara di Indonesia tidak seluruh penduduknya beragama Islam, meskipun mayaoritas. Demikian pula misalnya, adalah terlalu sulit bagi hukum adat untuk diberlakukan secara nasional, karena begitu banyak masyarakat adat di Indonesia dengan hukum adatnya masing-masing.
Sungguh pun demikian, keadaan itu pula sekaligus berarti bahwa hanya hukum negaralah satu-satunya yang tepat diberlakukan di wilayah territorial Indonesia. Suatu yang mustahil dan beresiko apabila idelogi sentralisasi hukum di Indonesia yang berkarakter mengabaikan kemajemukan social dan budaya di Indonesia. Faktanya, meskipun sudah ada hukum negara, akan tetapi tidak sedikit pula yang di taati masyarakar hukum lokal (hukum adatnya). Dalam perspektif ini, ada konsepsi perumusan hukum “mengecualikan” atau “dikecualikan” merupakan suatu hal lumrah kita temukan dalam permberlakuan hukum di Indonesia.  Pengecualian-pengecualian pemberlakuakn hukum itu tidak lain sebagai sebuah kedasadaran akan adanya pruralisme hukum di Indonesia.
Hukum adat sebagai salah satu dari wujud pruralisme hukum dalam memberikan sejumlah catatan penting dalam kehidupan hukum di Indonesia. Pruralisme hukum dalam perspektif hukum adat itu lebih menunjukkan persoalan, permasalahan lebih kompleks dibanding negara-negara lain. Ini terutama dengan banyak ragamnya komunitas masyarakat adat dengan hukum adatnya masing-masing. Kalau pun hukum-hukum adat itu akan diakomodir dalam hukum nasional. Selain keberlakuannya sangat terbatas pada teritori masyarakar adat itu sendiri.
Dalam hubungan itu tidaklah menjadikan hukum adat sebagai hukum tidak memiliki nilai. Eksistensi hukum adat di samping hukum-hukum lainnya akan tampak sangat penting apabila hukum dipahami dalam pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian social (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26; Bohannan,1967:48)
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional [5] kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. Apabila sistem hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia dan sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional Indonesia. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa eksistensi hukum adat sangat penting dalam suatu masyarakat pruralistik dan dengan memberikan pengertian hukum yang luas. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.[6]
Sementara itu Pospisil (1967: 25-41; 1971:39-95) menyatakan, bahwa hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian social (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), [7] yang salah satunya disebut dengan Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum adalah keputusankeputusan dari pemegang atoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otoritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum.[8]
Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa.[9]
Apa yang kita kemukakan di atas, tidaklah dimaksudkan untuk menyatakan hukum adat sebagai hukum yang sempit, tetapi kita hendak mengatakan bahwa dalam suatu masyarakat yang pruralistik, untuk mewujudkan suatu efektifitas hukum adalah bukan pekerjaan mudah. Hukum nasional, tidak selamanya akan efektif ketika berhadapan dengan suatu lingkungan masyarakat adat yang masih memegang teguh hukum adatnya, sekali pun bertentangan dengan hukum negara. Karena itu adakalanya hukum adat lebih efektif mewujudkan pencapaian pembangunan social-budaya,ekonomi, politik dan pemerintahan  dibanding hukum nasional.
Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4) dinyatakan :
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group.[10]
Prulalisme hukum merupakan suatu keadaan yang tidak bisa ditolak di Indonesia oleh siapa pun juga, termasuk oleh pemerintah yang berkuasa. Sebaliknya konstitusi justeru memberikan jaminan akan adanya keberagaman hukum itu di Indonesia dan memberikan pengakuan konstusional terhadap hak asal-asal masyarakat adat. Dari apa yang berlansung di Indonesia sebenarnya konsep pluralisme hukum Griffiths tidaklah persis sama, bahkan sebaliknya. Meskipun dizaman colonial belanda terjadi pembedaan pemberlakuan hukum dengan membagi golongan masyarakat

Relevankah Pluralisme Hukum di Indonesia


Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Gagasan pluralisme hukum sebagai sebuah konsep, mulai marak pada dekade 1970an, bersamaaan dengan berseminya ilmu antropologi.
Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71).
Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di antaranya: (i) pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan; (ii) pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan. Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.
Gerakan Pluralisme Hukum di Indonesia
Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai untuk membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata, 2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada peluang melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat). Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan hukum negara.
Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan aturan mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria, yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini.
Di tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin masif dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya dengan melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan pendokumentasian hukum-hukum adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat utama untuk diakuinya keberadaan masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong pemerintah-pemerintah daerah mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa melalui melibatkan pengadilan.
Irelevansi Pluralisme Hukum bagi Indonesia Sekarang Ini
Gerakan perubahan hukum di Indonesia dengan menggunakan pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya adalah dengan diakuinya hak-hak masyarakat adat, termasuk hukumnya, dalam konstitusi.
Di tengah gencarnya berbagai gerakan untuk mendorong pluralisme hukum di Indonesia, serta perdebatan yang ada di dalamnya, muncul pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana pluralisme hukum tersebut relevan bagi Indonesia?
Masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat yang majemuk, tetapi bukan berarti bahwa pluralisme hukum merupakan jawaban atas adanya problem hukum di Indonesia. Apalagi di Indonesia remah-remah otoritarianisme dan feodalisme masih tersebar dan setiap saat bisa muncul kembali, dan ekonomi masih dikuasai oleh segelintir orang. Tidak heran kemudian dengan adanya pelaksanaan pilkada, yang berkuasa adalah borjuasi lokal dan penguasa-penguasa feodal.
Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.
Hal ini sebenarnya sudah terjadi ketika sejumlah peraturan daerah (perda) yang secara substantif meminggirkan kelompok-kelompok tertentu, berlaku di sejumlah daerah. Lihat saja Qanun di Aceh atau Perda Injil di Manokwari, begitu pula beberapa perda yang mewajibkan pelajar perempuan mengenakan jilbab. Dalam sudut pandang pluralisme hukum, hal semacam itu diakui sebagai implementasi dari pluralisme hukum. Sekali lagi terlihat di sini bahwa pluralisme hukum pada dasarnya tidak melihat apakah secara substantif hukum tersebut adil bagi semua orang.
Dengan demikian, pluralisme hukum bisa menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia. Dengan alasan pluralisme hukum, semua produk hukum dapat dipakai untuk menyuburkan nilai-nilai feodalisme, otoritarianisme, ketidakadilan ekonomi, dan bahkan dijadikan jalan bagi totalitarianisme. Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, seperti halnya Kanada dan Perancis. Namun kita belum memiliki konstitusi yang kuat untuk menopang kemajemukan. Feodalisme masih begitu kental dalam seluruh segi kehidupan masyarakat kita. Kita masih juga masih belum lepas dari bayang-bayang otoritarianisme yang masih menghantui kita, ditambah dengan ancaman munculnya kembali totalitarianisme semakin menguat akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pluralisme hukum, bagaimanapun juga, tidak relevan dengan kondisi sosial-politik Indonesia.

Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia

Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi
 .[1] Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. (baca Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.

II. Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum

Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher (Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, Ibid, hlm. 267), hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin (Lili Rasyidi, 2001, : 58), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive law.
Selanjutnya Lili Rasyidi (Ibid, : 59-60) menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari Austin, yaitu :
  1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain terbeut berada di luar hukum;
  2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
  3. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
  4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
  5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
  6. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selanjutnya Prof. H.L.A. Hart (seperti dikutip oleh Lili Rasyidi, Ibid. : 57), menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut:
  • - Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
  • - Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
  • - Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :
  • 1. mempunyai arti penting,
  • 2. harus dibedakan dari penyelidikan :
a. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
b. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
c. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
- Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;
- Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik (Ibid, : 93).

III. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
A. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118). Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.

C. Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan  - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.

PENYIMPANGAN HUKUM

Penegakan hukum di Indonesia tidaklah berjalan dengan semestinya dikarenakan hukum hanya ampuh pada rakyat jelata saja. Jika kita amati beragam peristiwa, kasus tebang pilih hukum sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat. Ketidakadilan akan hukum membuat masyarakat apatis-ria dibuatnya. Contohnya, baru-baru ini kita mendengar atau melihat dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal 32 ayat 2 disebutkan :
“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak “
Akan dikenakan maksimal 12 tahun hukuman pernjara. Ini sungguh tidak masuk akal, dibandingkan dengan para koruptor atau elite yang korupsi sampai milliaran yang hanya dihukum 2-7 tahun, bahkan ada yang lolos dari jeratan hukum.  apakah adil ? mungkin kasus atau tulisan ini sudah banyak dipaparkan lewat media tapi akan saya perjelas lagi.
Kita tahu bahwa dibalik ini semua ada mafia yang mengatur kebijakan UU di Indonesia, tujuannya adalah demi ambisi pribadi seseorang atau kelompok penguasa. Perbuatan keji seseorang kini bisa diredam dengan mudahnya dengan berbagai macam alasan. Apakah ini wajah demokrasi Indonesia yang sesungguhnya ?
Aparat hukum di Indonesia sudah sangat berdosa menelantarkan hak warga sipil, mereka seperti kehilangan idealisme dalam berpikir memperjuangkan tanggung jawabnya. Realita budaya masyarakat Indonesia sekarang membuat banyak orang pesimis untuk mengangkat harga dirinya sendiri. Orang – orang sepertinya sudah kehilangan malu. Wahai para mahasiswa hukum, apakah yang kalian pelajari di bangku perkuliahan sesuai dengan kondisi di masyarakat ?
Kemiskinan di segala bidang juga membuat kita semua menjadi seperti binatang, kehilangan akal sehat dan mementingkan nafsu semata. Apatis sudah menjadi pedoman. Apakah kalian bangga menjadi miskin ? menjadi budak para kapitalis.
Jika ditinjau lebih jauh lagi, sebenarnya masyarakat Indonesia adalah orang – orang yang sangat terhormat hal tersebut bisa dilihat dari budaya masyarakat Indonesia terdahulu. Realita sejarah dan semangat nasionalisme sengaja dihilangkan demi tujuan kotor para biadab sejak jaman dahulu sampai sekarang. Kita seperti kehilangan arah kepada jalan menuju masa depan. Bagaimana hukum bisa ditegakan jika tidak adanya kesadaran dari diri sendiri, namun memang sistem yang dibuat memang sudah sungguh kacau.
Jika kita melihat indikasi penyebab pasti nanti ada akibat, kupikir tidak akan lama keadaan ini berlangsung. Sebentar lagi kita semua akan menuai luka pada diri kita masing – masing

Jumat, 22 Juli 2011

PENEGAKAN HUKUM ?????

Hukum yang berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. pelaksanaan hukum berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum, dalam hal ni hukum yang telah dilanggar itu harus didengarkan. melalui penegak hukum inilah menjadi kenyataan. dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu , kepastian hukum , kemanfaatan , dan keadilan. inilah yg telah dilaksanakan di INDONESIA.melaksanakan hukum sesuai fungsinya. walaupun terkadang banyak oknum2 yang tak bertanggung jawab dan menyalahgunakan hukum dengan kekuasaan mereka. mereka nilah yg digelari dengan julukan MAFIA HUKUM yang sesungguhnya.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, Setiap orang mengharapkan dapat menegakkan hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit, dan pada dasarnya hukum itu tak boleh menyimpang, "fiat justitia et pereat". (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).. sungguh ironis sekali pernyataan yang dilontarkan beberapa masyarakat, karena pada realita yg sering terjadi dinegara ni tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. mengapa saya katakan demikian, karena kita bisa liat kejadian yang banyak terjadi di Indonesia diamana ada istilah yang mengatakan HUKUM itu bisa di beli. sungguh gila istilah ni. mereka yangmenggunakan istilah2 ni adalah segelintir orang-orang yang tak memiliki hati dan hanya mengandalkan materi berlimpah yang mereka miliki.

sungguh kasihan masyarakat-masyarakat biasa seperti kami ini yang memiliki keterbatasan materi. dimana kami mengaharapkan pelaksanaan dan penagakan hukum dapat dilaksanakan tanpa ada perbedaan dari segi materil. padahal kita ketahui fungsi penegakkan hukum itu tak memilih dan harus memberi manfaat kepada semua lapisan masyarakat. Hukum yang semestinya bersifat umum , mengikat setiap orang bersifat menyamaratakan ,contohnya barang siapa yang mencuri harus di Hukum dan tanpa membeda-bedakan, tapi ini mungkin hanya berlaku bagi lapisan masyarakat yang tak memiliki kekuasaan maupun materi. karena realita yang kita liat sekarang ini para "TIKUS LIAR" masih saja berkeliaran kesana kemari karena dia pencuri yang memiliki kekuasaan yang ditunjang materi yang berlimpah sehingga dapat membeli Hukum di negara ini.

apa sebenarnya yang terjadi dengan penegakan hukum di Indonesia?????